Siapa dan Bagaimana Orang yang Berilmu itu?

mrfdn author

Rafi

Penjelasan tentang siapa dan bagaimana ciri orang yang berilmu

Istilah chair yang dipakai di dunia akademis Barat dipergunakan untuk menyebut orang yang sangat ahli dalam bidang tertentu. Di US misalnya, tidak semua professor punya posisi sebagai chair.

Tetapi sebaliknya, mereka yang menempati posisi tersebut biasanya adalah seorang guru besar. Orang Indonesia sering menyebut ketua jurusan atau kepala departemen dengan istilah chair.

Hal ini jika ditelisik, memberikan pemahaman bahwa istilahchair tidak lah merujuk pada struktur jabatan, tapi lebih pada kajian disiplin keilmuan. Seseorang yang disebut chair di bidang hak asasi manusia (HAM) bisa jadi bukan merupakan kepala departemen jurusan secara struktural, tetapi secara akademis, ia sudah barang tentu “kepala” dalam bidang tersebut.

Namun taukah kita, bahwa ternyata istilah chair yang dipakai dalam dunia akademis Barat ini sebenarnya berasal dari terminologi Islam.

Menurut professor George Makdisi,

“Faktanya, istilah chair untuk menyebut seorang professor (ahli dalam suatu disiplin ilmu) berasal dari gaya tradisional pendidikan Islam. Di mana seorang guru mengajar di atas kursi (chair) sementara murid-murid duduk di bawah mengelilinginya.”

Bahkan dalam konteks sejarah, istilah professor di dunia Barat juga terjemahan dari term “mufti” di dunia Islam (Nurussyariah, 2013: 149).

Penjelasan di atas, setidaknya memberikan gambaran bagaimana Barat yang lahir dari kehidupan sekuler dan Islam sama-sama memberikan perhatian terhadap pendidikan, sehingga orang yang memiliki ilmu pantas diberi gelar dan otoritas khusus dibanding orang lain.

Kesamaan pandangan pada titik ini ternyata tidak banyak melahirkan kesamaan-kesamaan berikutnya. Bahkan kenyataannya, pendidikan Barat dan pendidikan Islam memiliki jurang perbedaan yang cukup curam. Salah satunya adalah pandangan keduanya dalam melihat orang yang pantas disebut berilmu.

Pendidikan sekuler sangat mementingkan kajian keilmuan yang objektif

Maknanya, suatu ilmu atau hasil penelitian dapat dikatakan objektif jika ilmu, pengetahuan atau hasil kegiatan keilmuan itu bebas dari kepentingan dan nilai, termasuk salah satunya adalah nilai religi, misalnya dorongan iman. Bukan menjadi rahasia lagi jika konsep ini berkembang dalam faham sekularisme, sebab sekuler itu sendiri mencoba memisahkan “urusan tuhan” dengan “urusan manusia”.Dalam arti, pada ranah dunia termasuk pendidikan haruslah bersih dari nilai, kepentingan dan motivasi yang berbau agama (Qaradhawy, 1997: 10).

Dampak dari pandangan ini cukup jelas, di mana para pemerhati pendidikan yang berbasis pada pendidikan sekuler tidak menjadikan pembentukan karakter, akhlak dan tabiat calon didik sebagai salah satu tujuan utama sebuah pendidikan.

Pembentukan Karakter hanya salah satu dari sekian dampak pengetahuan seseorang yang terbentuk dari proses pendidikannya, baik itu karakter mulia atau pun buruk.

Tujuan terpenting bagi mereka ialah bagaimana calon didik bias menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya lalu melakukan kegiatan keilmuan dan penelitian untuk mendapatkan pijakan teori keilmuan berikutnya guna semakin mengembangkan suatu disiplin ilmu.

Seorang anak yang memenangkan olimpiade sains akan dianggap sukses dan dihargai dibanding anak yang menjadi patuh, dermawan, penyayang, penyabar karena pendidikan yang ia dapat.

Sumber : Tongkronganislami.net

mrfdn author

Rafi

  • 15 year+ of Linux user.
  • 5 years+ blogger and web developer.

Jika artikel yang dibuatnya ternyata bermanfaat, support dengan cara

Baca juga