Alasan Tepat untuk Beralih dari DWM ke Sway Window Manager
Cerita pribadi pindah dari DWM ke Sway: kenapa Wayland, kemudahan konfigurasi, dan kehidupan baru yang lebih modern dan minimalis

mrfdn.com - Oke, saya mau cerita dikit soal salah satu keputusan yang lumayan ngubah cara saya pakai komputer setiap hari: pindah dari DWM (Dynamic Window Manager) ke Sway. Kalau kamu ngulik-ngulik dunia window manager, pasti familiar lah sama DWM. Ringan, cepat, dan minimalis banget—tapi juga agak nyebelin kadang, jujur aja.
saya dulu cinta banget sama DWM. Kayak, beneran cinta. Tapi cintanya yang toxic, tahu nggak? kamu suka, tapi harus banyak kompromi. Setiap kali pengen tweak dikit, saya harus buka file C, recompile, trus restart. Kadang cuma buat ganti mod key atau nambah gap antar jendela doang. Konyol, tapi saat itu terasa keren. Sampai akhirnya saya ketemu Sway.
Kenapa Akhirnya saya Pindah ke Sway
Pertama, karena Wayland. saya sudah lama baca soal bagaimana X11 sudah uzur, dan Wayland tuh kayak masa depan. Tapi waktu itu banyak aplikasi yang belum 100% support. Nah, pas saya coba Sway, ternyata semua workflow saya sudah bisa jalan. Mulai dari terminal, browser, sampai tools kayak Flameshot dan Thunar—semuanya lancar jaya.
Yang paling kerasa sih, renderingnya lebih smooth, dan scaling di layar HiDPI jadi jauh lebih rapi. Dulu di DWM, scaling kadang suka ngaco. Sway bikin semua keliatan crispy, dan kayak lebih modern aja tampilannya meskipun masih full Tiling WM.
Config yang (Jauh) Lebih Bersahabat
saya nggak mau lebay, tapi konfigurasi Sway itu penyelamat hidup saya. Gak perlu ngoprek C kayak di DWM. Semua cukup di satu file .config/sway/config
, dan sintaksnya mirip i3. kamu tinggal tulis:
bindsym $mod+Enter exec alacritty
dan selesai. Simpan, reload (swaymsg reload
), langsung aktif. Nggak ada yang namanya compile ulang cuma buat ganti keybinding. saya sempat ketawa sendiri waktu pertama kali nyoba, kayak… “Serius segampang ini?”
saya juga suka banget sama sistem variable dan mode di Sway. Bikin konfigurasi jadi super modular dan gampang diatur kalau kamu tipe yang seneng eksperimen layout.
Minimalisme yang Lebih Realistis
Salah satu alasan saya suka DWM adalah karena dia super minimalis. Tapi makin lama, saya sadar: minimalisme yang terlalu ekstrim itu malah bikin ribet. saya nggak butuh UI yang norak, iya, tapi saya juga nggak mau suffering cuma buat buka file manager atau ngatur workspace.
Sway bawa vibes minimalis tapi tetap manusiawi. Panel? Bisa pasang
Waybar
. Wallpaper? Pakai swaybg
aja. Mau notifikasi? Tambahin mako
. Semua clean, ringan, tapi tetap usable.
Dan yang paling keren: gak harus ngorbanin mata demi estetik. Dengan Wayland, semua terlihat halus. Gak ada lagi screen tearing, dan scaling bisa diset per-monitor. Ini penting banget buat kamu yang pakai setup dual screen.
Ada Tantangan, Tapi Worth It
Nggak semuanya mulus, tentu aja. Awal-awal, saya agak struggle soal clipboard manager. Beberapa tools lama gak jalan di Wayland. Tapi solusinya ada—kayak wl-clipboard
, cliphist
, atau fuzzel
buat application launcher.
Tips Buat yang Mau Coba Pindah
- Backup config DWM kamu dulu, jaga-jaga kalau kamu kangen.
- Coba Sway di sesi Wayland lain dulu (kayak pakai TTY), biar nggak langsung kaget.
- Pakai distro yang sudah support Wayland dengan baik. saya pakai Arch, jadi tinggal
pacman -S sway
. - Mulai dari config dasar, baru tambahin satu-satu. Jangan langsung ambisius.
- Explore tools Wayland-native kayak
wlr-randr
,swaylock
, ataugrim
.
Penutup: Pilihan yang saya Gak Sesali
Pindah ke Sway bukan cuma soal window manager. Buat saya, ini soal efisiensi, kenyamanan, dan finally punya sistem yang nggak bikin frustrasi setiap kali saya pengen hal simple. saya masih cinta DWM, tapi sekarang lebih sebagai mantan yang dikenang baik-baik.
Kalau kamu suka sistem yang minimalis, tapi pengen sesuatu yang lebih modern, stabil, dan gampang dikonfigurasi, Sway adalah pilihan yang solid. Dan ya, setelah pakai selama beberapa bulan, saya nggak kepikiran balik ke DWM lagi.
Kalau kamu punya pengalaman serupa atau masih ragu buat pindah, feel free share cerita kamu. Siapa tahu kita bisa saling bantu ngulik.
Related